Ada kejadian menarik pada saat liburan menyambut Hari Raya Idul Fitri 1435 H lalu. Seperti biasa, pekerja rumah tangga mudik berlebaran selama seminggu sehingga semua tugas perawatan rumah terpaksa kami kerjakan secara gotong royong bersama keluarga. Kondisi itu sering terulang hampir setiap tahun, saat kami ditinggal pembantu pulang berlebaran. Tak jarang kami harus ke luar kota “menghindari” pekerjaan rumah yang tidak ringan itu.
Namun mengingat panasnya situasi politik berkaitan dengan pilpres, kami memutuskan lebaran kali ini untuk tetap di Semarang. Kami sekeluarga manfaatkan liburan hari raya dengan membersihkan rumah, termasuk tugas berat gosok kamar mandi hingga merapikan taman.
Kejadian unik terjadi saat kami usai makan malam, Audrey, anak saya yang baru umur 7 tahun langsung ke belakang mencuci piring tanpa disuruh. Setelah mencuci beberapa menit, saya juga ikut ke belakang membantu karena kuatir piring bisa pecah kalo licin nggak kuat pegangnya.
Pendeknya liburan hari raya kami lalui dengan pembagian tugas urus rumah. Saya pun menawarkan pembagian tugas, mulai menyapu, ngepel dan gosok kamar mandi. Berpikir sejenak, Audrey yang dikasih kesempatan memilih dulu, mengambil tugas ngepel lantai dengan semangat. Saya sendiri kebagian yang paling berat: gosok kamar mandi.
Hasil kerja bareng itu pun belum tentu semaksimal sesuai dengan tipe saya yang perfeksionis, termasuk urusan kebersihan rumah. Namun di benak ini muncul pertanyaan, kenapa si kecil mau mengerjakan pekerjaan rumah. Jawabnya pun selalu terulang, hanya karena senang bisa mengerjakan cuci piring dan ngepel itu.
Meski di benak ini agak sulit mencari tahu motif sebenarnya mengapa dia mau melakukan pekerjaan rumah itu dengan senang hati. Saya hanya menduga kemungkinan karena dorongan rasa keingintahuan anak untuk mengerjakan aktivitas baru.
Namun di luar dugaan itu ada hal positif yang saya amati, yakni keikhlasan membantu pekerjaan rumah bagi Audrey tanpa disuruh adalah sebagai sikap inisiatif yang tak kami ketahui motivasi sebenarnya.
Menurut saya, mengambil inisiatif dalam kehidupan sangat penting. Orang yang mengambil inisiatif akan bertindak lebih dulu dan biasanya mempunyai pengaruh yang lebih dibandingkan orang bertindak karena disuruh.
Stephen R. Covey dalam bukunya berjudul 7 Habits of Highly Effective People, menyebutkan bahwa mengambil inisiatif bukan berarti mendesak atau agresif, tetapi sifat dasarnya adalah bertindak. Bukan menjadi sasaran tindakan, yang memberi kita kekuatan untuk “menciptakan” keadaan tertentu.
Sikap Audrey ini sangat menarik bila dikaitkan dengan pekerjaan yang kadang sering mengeluhkan karir. Tak jarang ada yang mengeluhkan juniornya sudah berpangkat lebih tinggi, lalu berprasangka buruk bahwa peningkatan karir tergantung like dislike pimpinan.
Jika direnungkan lebih dalam kita jelas bukan orang yang bodoh, sebagian besar sebetulnya memiliki kompetensi yang memadai namun tidak dipoles. Sayangnya kita hanya menunggu termasuk harus dipanggil untuk dipromosikan. Kebiasaan buruk kita cenderung berpikir akan memoles pekerjaan bila nanti sudah menduduki jabatan tertentu, toh belum dibutuhkan saat ini.
Inilah yang saya maksudkan dengan kurangnya inisiatif, kita hanya menunggu atau menjadi sasaran tindakan. Lalu pertanyaannya mengambil inisiatif seperti apa yang harus dilakukan ?
Yang pertama perlu dilakukan Upgrade diri sendiri, artinya belajar dari mana saja tentang hal yang berkaitan dengan pekerjaan, bidang tugas, bidang usaha perusahaan tempat kita berkarya, perilaku mental positif, perkembangan ekonomi daerah, bahkan kalau perlu sampai persoalan dunia sekali pun. Tentunya masih banyak lagi ilmu pengetahuan lainnya.
Untuk mencapai itu bukan kah kita harus belajar, di sisi lain banyak buku, majalah, surat kabar, website, berinteraksi dengan pelaku bisnis, teman, rekan kerja, menonton tayangan televisi bermutu sebagai media untuk memahami dan belajar. Penting juga ikutilah biografi orang yang sukses, menghadiri training dan seminar bermutu, kalau perlu membayar sendiri seandainya belum difasilitasi perusahaan.
Tujuannya adalah peningkatan pengetahuan, ketrampilan, cara pandang dan wawasan kita sendiri. Semua itu kita lakukan dengan inisiatif sendiri, tanpa perlu disuruh oleh atasan.
Kedua, pengamatan terhadap tugas kita sehari hari. Sudahkah kita selalu bertanya setidaknya kepada diri sendiri, apakah ada yang dapat saya lakukan supaya hasil pekerjaan dapat lebih cepat, lebih akurat, lebih luas dan kalo perlu semua itu dicapai dengan lebih murah.
Apabila ada ide maka segera diskusikan dengan rekan kerja dan atasan kita, karena ide bagus seringkali mucul dari hasil diskusi dengan orang lain. Mulailah dari ide sekecil apa pun. Mengajak diskusi merupakan tindakan inisiatif yang tak hanya memberi perbedaan namun mendapatkan solusi bersama.
Ketiga, berpikir selangkah di atas. Bagi saya mengandai apabila kita duduk di posisi atasan bukan sebagai kesalahan. Mengandai dalam arti positif adalah apa yang seharusnya saya lakukan, bukan apa yang mau saya lakukan? Tolong dibedakan antara “seharusnya” dan “mau”.
Dengan terbiasa berpikir seperti atasan, maka tindakan dan kualitas kerja kita juga akan selangkah lebih maju dibandingkan rekan kerja lainnya. Kita pun akan siap kapan pun mempresentasikan visi kita seandainya diminta.
Nah, apabila kita sudah siapkan diri seperti di atas dan kesempatan promosi tiba, maka tentu kita akan “keliatan” berbeda dibandingkan rekan kerja lainnya sehingga peluang terpilih akan lebih besar.
Yang paling penting di sini adalah jangan sekali kali berharap promosi jabatan dengan cara menjatuhkan orang lain, termasuk menceritakan kejelekan rekan kerja apa lagi atasan sendiri. Kalau ini di lakukan, maka bukan promosi yang kita dapatkan, malahan persepsi negatif kepada kita yang akan merugikan diri sendiri. Jauh lebih baik kita bersaing sehat dengan menunjukkan kemampuan terbaik kita dengan melakukan ketiga hal diatas.
Pertanyaannya apabila belum ada lowongan untuk promosi bagaimana? Nah, dalam situasi seperti ini bukankah kita dapat mengambil inisiatif dengan menciptakan peluang promosi. Caranya mintalah waktu ke pimpinan untuk mengkomunikasikan pemikiran dan pandangan kita tentang sesuatu.
Tentu bila diskusi sering dilakukan dan pemikiran pandangan kita sesuai dengan visi perusahaan, maka pimpinan akan tau mengenai kualitas diri sehingga kita akan lebih diperhatikan.
Bahkan mungkin saja kita dapat mengusulkan jabatan baru yang sebenarnya sangat dibutuhkan namun belum terpikirkan oleh pimpinan perusahaan. Sekarang kita dapat mulai melihat perbedaan yang luar biasa antara orang yang selalu mengambil inisiatif bertindak dengan mereka yang hanya menunggu dan menjadi sasaran tindakan. Bukankah Stephen R. Covey lewat bukunya mengatakan bahwa perbedaannya bukan 50 persen lebih efektif tetapi sampai 5000 persen lebih efektif.
Jadi mulai hari ini, marilah kita selalu mengambil inisiatif dalam hidup ini. Salam Sukses!!!
Penulis Direktur Utama PT. BPR Weleri Makmur